Santri dan pesantren adalah icon dan kebanggaan Indonesia. Pesantren lahir, tumbuh dan berkembang bersama masyarakat sehingga pesantren menjadi bagian dari lembaga yang indigenaus (asli) Indonesia. Pesantren merupakan salah satu kekuatan pendidikan Indonesia yang akomodatif dan mewakili kondisi budaya nusantara. Selain itu, pesantren mampu memberikan corak budaya religius yang khas dan menjadikannya sebagai subkultur di antara kultur nusantara.
Sebagai warga world society, pesantren dihadapkan pada pertanyaan apa yang dilakukan pesantren sebagai representasi lembaga pendidikan Islam untuk menjawab tantangan-tantangan internal dan eksternal yang dihadapinya?. KH. MA. Sahal Mahfudh (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) yang merupakan tokoh kenamaan NU sekaligus “orang pesantren” memberikan tawaran untuk menyelesaikan problem itu. Menurutnya, pesantren harus melakukan transformasi terhadap rukun-rukun yang dimilikinya. Transformasi dalam koridor al-muhafadhotu ‘ala al-qodimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Koridor ini sebagai akomodasi watak, kondisi dan faktor yang sesuai dengan kepribadian dan latar belakang pesantren itu sendiri sehingga tidak menyebabkan ketimpangan praktis.
Sebagaimana kita ketahui, rukun-rukun pesantren meliputi: kyai, santri, kitab kuning, masjid dan pondok (asrama). Pesantren bagi Kyai Sahal adalah laboratorium sosial yang menyediakan pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan komunitas sosialnya ketika kembali ke kampung halaman. Pesantren bukan semata-mata lembaga yang concern pada tafaqquh fiddin saja,tetapi juga sebagai lembaga pendidikan dan kontrol sosial. Pesantren sebagai basis perubahan sosio-kultural akan tetap eksis dengan cara melakukan transformasi pada rukun-rukun yang dimilikinya. Untuk itu, transformasi rukun-rukun itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Kyai
Kyai dalam pesantren merupakan figur yang menentukan dalam pengambilan kebijakan pesantren. Menurut kyai Sahal, kyai hendaknya memiliki sikap open mind dan sikap yang akomodatif-selektif terhadap dinamika sosial yang mutlak terjadinya. Hal ini tampak dari gagasan-gagasan kyai Sahal yang progresif dalam menentukan kebijakan pesantren yang diasuhnya atau dalam berbagai tulisannya. Keberanian beliau dalam bertindak dan berfikir di luar pakem pesantren patut untuk dicontoh dan diapresiasi. Selain itu, menurut beliau kyai memerlukan keterampilan menejerial yang mumpuni dan lebih demokratis dalam mengelola dan mengambil kebijakan-kebijakan pesantren.
Santri
Kyai Sahal pada beberapa kesempatan sering melakukan kritik kepada para santri agar mereka terbangun dari sifat apologetis yang berdampak pada stagnasi ilmiah. Hal ini disebabkan karena santri terlalu fanatik dalam melakukan interpretasi kitab kuning. Beliau mengibaratkan pesantren sebagai laboratorium sosial bagi santri sehingga pesantren hendaknya menyediakan ilmu-ilmu yang bukan hanya bersifat fardlu ‘ain saja tetapi juga ilmu yang bersifat fardlu kifayah. Santri hendaknya dibekali dengan ilmu agama dan ilmu umum.

Kitab kuning
Transformasi kitab kuning sebagai sumber belajar dapat dimulai dengan cara pandang terhadap kitab kuning sebagai the great tradition sebagai salah satu ciri khas pesantren. Menurut Kyai Sahal, kitab kuning oleh sebagian pesantren merupakan alat legalistik untuk menghakimi segala permasalahan yang muncul. Dengan kata lain, kitab kuning telah disejajarkan dengan al-Qur’an dan al-Hadits, menempatkannya dalam garis yang mendatar dengan referensi ilmiah yang lain. Meskipun begitu, beliau menganggap bahwa kitab kuning merupakan jembatan emas untuk media transfer of knoweladge dan transfer of value dari ulama salaf dan menghindari terjadinya diskontinuitas sejarah. Kitab kuning hendaknya didampingi dengan sumber lain yang beragam baik varian disiplin ilmu maupun bahasanya.
Masjid
Ada kecenderungan sebagaian pesantren yang mengasingkan dari masyarakatnya dan hal ini akan menghilangkan identitas dan perannya. Masjid merupakan media yang cukup efektif dan setrategis untuk membangun komunikasi dan melakukan fungsinya sebagai agent perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Selain fungsi utamanya sebagai tempat sholat jama’ah, masjid dapat dijadikan wahana untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat baik dalam hal agama maupun yang lain. Dengan begitu, masyarakat akan merasa memiliki pesantren dan merasakan manfaat kehadiran pesantren sebagai wujud school based society.
Pondok
Pondok sebagai tempat tinggal santri perlu diperhatikan aspek-aspek yang meliputi: jumlah, fasilitas, penerangan, kebersihan, dan hal-hal yang mendukung kenyamanan santri. Kenyamanan tempat tinggal akan berdampak terhadap keberhasilan pembelajaran. Pondok sangat urgen keberadaannnya karena ia merupakan “rumah kedua” bagi santri. Di pondok inilah santri akan belajar bermasyarakat dan berkeluarga dengan hidup bersama teman-temannya yang mamiliki perbedaan karakter, latar belakang budaya dan daerah asal yang berbeda.
Penulis: Kyiai Suradi, M.Pd.I
